Sub Berita

Friday, December 7, 2012

POTRET SOSIAL KAMPUNG APUNG


Tri Susanty - Sosial

Jakarta, wilayah yang terletak di sekitar Kapuk paling timur, yaitu Kampung Apung. Merupakan daerah yang mengalami banjir permanen yang sudah melanda kurang lebih 22 tahun. Rumah-rumah yang kini berdiri diatas air, menjadi saksi sejarah tentang Kampung tersebut. Diantara rumah-rumah yang mengapung diarea itu terdapat sebuah bangunan kayu unik yang diberi nama Rumah Belajar Kampung Apung. Sebuah Sekolah Komunitas yang didirikan oleh Pak Djuhri selaku ketua RW dengan dibantu oleh para relawan yang dikoordinatori oleh Syahril Hermansyah. “Visi misi Sekolah ini untuk menampung mereka yang memang ekonominya menengah kebawah tapi punya keinginan kuat belajar, dan mudah-mudahan Rumah Belajar Terapung ini menjadi icon untuk daerah-daerah yang ingin mandiri.” Ungkap pria yang biasa dipanggil Kak Syahril.

Sekolah Komunitas ini memiliki tingkatan-tingkatan kelas yang terbagi menjadi tiga kelas. Kelas pertama, yang dilaksanakan pada pagi hari dikhususkan untuk anak-anak PAUD atau setingkat TK, siang sekitar jam 13.30 untuk Bimbel, 14.30 Komputer dan Bahasa Inggris, lalu jam 16.00 sampai jam 18.00 untuk kelas TPA.


Sekolah komunitas ini berdiri sejak tahun 2008, namun sempat vakum selama satu tahun dikarenakan sulitnya mencari relawan yang tergerak untuk menjadi pengajar. Namun pada bulan Maret 2009 seorang penduduk asli yang tergerak hatinya, mengumpulkan teman-teman yang dimilikinya, salah satunya Syahril Hermansyah, untuk menjadi staf pengajar disekolah sosial tersebut. “Awalnya muridnya hanya 3 orang saja, tapi dalam waktu 2 bulan naik menjadi 65 siswa tanpa promosi, tanpa iklan. Hanya dari mulut ke mulut. Dan itu menunjukkan 2 hal, yang pertama masyarakat disini ekonominya sangat rendah, jadi ketika ada pendidikan yang murah mereka berduyun-duyun datang kemari. Yang kedua, adanya niat belajar dari masyarakat”

Sekolah yang terletak di RW.01 ini memiliki donator-donatur swasta yang memberikan bantuannya melalui barang-barang saja. Namun, terkait dengan biaya operasional sehari-hari dan keterbatasan dana, untuk belajar di Rumah Belajar Terapung ini, para siswa hanya dikenakan biaya sebesar 3000 rupiah saja per siswa, namun tidak semua dikenakan biaya untuk bisa belajar di sekolah ini. “Alasan kedua kami masih menarik bayaran, karena memang pendidikan gratis itu tidak sepenuhnya baik, karena tidak adanya keterikatan emosional, tanggung jawab dari keluarganya, dari orang tuanya terutama.”

Terdapat beberapa unit Komputer yang terpajang di ruangan berbentuk kelas sederhana tersebut, namun karena keterbatasan dana, Fasilitas Internet masih belum bisa diadakan ditempat itu, mengingat keterbatasan dalam membayar biaya perbulannya atas pengadaan Internet.

Tidak hanya Sekolah Komunitas saja yang menarik di Kampung Apung ini, Karena adanya beberapa kegiatan masyarakat yang sifatnya terapung, maka Kampung Kapuk Teko ini dinamakan Kampung Apung, Lalu ada budidaya ikan lele yang konsep kolamnya terapung, yang dimana-dimana ikan dipelihara didalam air, kita malah diatas air, tepatnya diatas air genangan. Ada juga kebun sayur dan yang lain-lain yang terapung diatas lokasi yang dulunya merupakan dataran tinggi dan area pemakaman.

“Harapan saya, semoga Pemkot DKI Jakarta, mengalih fungsikan area pemakaman ini menjadi sarana Pendidikan, kita ingin area ini bisa dibangun SMU, syukur-syukur bisa SMK. Kalaupun masih ada tanah yang sisa silahkan kalau mau dibuat rumah susun. Pengertian saya, banyak anak-anak dikampung ini yang putus sekolah bukan hanya disebabkan oleh keterbatasan dana saja, namun dikarenakan jarak tempuh dari Kampung ini dengan sekolah-sekolah yang ada.” Ungkap Pak Djuhri, Ketua Rw.01 Rt.10 Kapuk, Cengkareng.

No comments:

Post a Comment