Tri Susanty - Sosial
Jakarta,
wilayah yang terletak di sekitar Kapuk paling timur, yaitu Kampung Apung.
Merupakan daerah yang mengalami banjir permanen yang sudah melanda kurang lebih
22 tahun. Rumah-rumah yang kini berdiri diatas air, menjadi saksi sejarah
tentang Kampung tersebut. Diantara rumah-rumah yang mengapung diarea itu
terdapat sebuah bangunan kayu unik yang diberi nama Rumah Belajar Kampung
Apung. Sebuah Sekolah Komunitas yang didirikan oleh Pak Djuhri selaku ketua RW
dengan dibantu oleh para relawan yang dikoordinatori oleh Syahril Hermansyah. “Visi
misi Sekolah ini untuk menampung mereka yang memang ekonominya menengah kebawah
tapi punya keinginan kuat belajar, dan mudah-mudahan Rumah Belajar Terapung ini
menjadi icon untuk daerah-daerah yang ingin mandiri.” Ungkap pria yang biasa
dipanggil Kak Syahril.
Sekolah Komunitas ini
memiliki tingkatan-tingkatan kelas yang terbagi menjadi tiga kelas. Kelas
pertama, yang dilaksanakan pada pagi hari dikhususkan untuk anak-anak PAUD atau
setingkat TK, siang sekitar jam 13.30 untuk Bimbel, 14.30 Komputer dan Bahasa
Inggris, lalu jam 16.00 sampai jam 18.00 untuk kelas TPA.
Sekolah komunitas ini
berdiri sejak tahun 2008, namun sempat vakum selama satu tahun dikarenakan
sulitnya mencari relawan yang tergerak untuk menjadi pengajar. Namun pada bulan
Maret 2009 seorang penduduk asli yang tergerak hatinya, mengumpulkan
teman-teman yang dimilikinya, salah satunya Syahril Hermansyah, untuk menjadi
staf pengajar disekolah sosial tersebut. “Awalnya muridnya hanya 3 orang saja,
tapi dalam waktu 2 bulan naik menjadi 65 siswa tanpa promosi, tanpa iklan.
Hanya dari mulut ke mulut. Dan itu menunjukkan 2 hal, yang pertama masyarakat
disini ekonominya sangat rendah, jadi ketika ada pendidikan yang murah mereka
berduyun-duyun datang kemari. Yang kedua, adanya niat belajar dari masyarakat”
Sekolah yang terletak
di RW.01 ini memiliki donator-donatur swasta yang memberikan bantuannya melalui
barang-barang saja. Namun, terkait dengan biaya operasional sehari-hari dan
keterbatasan dana, untuk belajar di Rumah Belajar Terapung ini, para siswa
hanya dikenakan biaya sebesar 3000 rupiah saja per siswa, namun tidak semua
dikenakan biaya untuk bisa belajar di sekolah ini. “Alasan kedua kami masih
menarik bayaran, karena memang pendidikan gratis itu tidak sepenuhnya baik, karena
tidak adanya keterikatan emosional, tanggung jawab dari keluarganya, dari orang
tuanya terutama.”
Terdapat beberapa unit
Komputer yang terpajang di ruangan berbentuk kelas sederhana tersebut, namun
karena keterbatasan dana, Fasilitas Internet masih belum bisa diadakan ditempat
itu, mengingat keterbatasan dalam membayar biaya perbulannya atas pengadaan
Internet.
Tidak hanya Sekolah
Komunitas saja yang menarik di Kampung Apung ini, Karena adanya beberapa
kegiatan masyarakat yang sifatnya terapung, maka Kampung Kapuk Teko ini
dinamakan Kampung Apung, Lalu ada budidaya ikan lele yang konsep kolamnya
terapung, yang dimana-dimana ikan dipelihara didalam air, kita malah diatas
air, tepatnya diatas air genangan. Ada juga kebun sayur dan yang lain-lain yang
terapung diatas lokasi yang dulunya merupakan dataran tinggi dan area
pemakaman.
“Harapan saya, semoga
Pemkot DKI Jakarta, mengalih fungsikan area pemakaman ini menjadi sarana
Pendidikan, kita ingin area ini bisa dibangun SMU, syukur-syukur bisa SMK.
Kalaupun masih ada tanah yang sisa silahkan kalau mau dibuat rumah susun.
Pengertian saya, banyak anak-anak dikampung ini yang putus sekolah bukan hanya
disebabkan oleh keterbatasan dana saja, namun dikarenakan jarak tempuh dari
Kampung ini dengan sekolah-sekolah yang ada.” Ungkap Pak Djuhri, Ketua Rw.01
Rt.10 Kapuk, Cengkareng.
No comments:
Post a Comment