“Kita tahu, bahwa Malaysia sudah
seringkali melakukan klaim budaya milik Indonesia. Setelah batik, tari reog
ponorogo yang diakui sebagai tari barong oleh Malaysia, lagu daerah rasa
sayange asal Maluku, kini tarian tor-tor dan musik gondang sambilan asal ranah
batak juga ikut diklaim oleh mereka. Lalu apalagi setelah ini?” katanya
melanjutkan.
Selama ini pemerintah dinilai tidak berdaya dalam melakukan tindakan untuk mendaftarkan aset budaya bangsa ke
UNESCO. Dan pemerintah juga tidak tegas dalam menyikapi klaim-klaim yang
dilakukan Malaysia.
“Kalau dikaji
lebih jauh, ada kecenderungan tindakan yang lamban dari pemerintah kita. Tapi
itu kecil prosentasenya. Kita saja sebagai warga Indonesia jarang mengangkat
dan menyebarluaskan budaya sendiri, jadi bukan salah Malaysia apabila mereka
mengklaim sebagian dari budaya kita adalah milik mereka” ujar Dosen Ilmu Hukum Universitas
Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta, Didik Setiyadi.
Setiap lapisan masyarakat sejatinya perlu berkaca diri. Tidak perlu menyalahkan
siapa-siapa atas setiap kejadian klaim yang dilakukan oleh Negara lain terhadap
Indonesia.
Beliau
melanjutkan, harus ada progress yang dilakukan olah pemerintah, selain warga
Indonesia untuk mengambil langkah tegas dalam mengupayakan hal yang perlu
dilakukan, agar warga Negara lain merasa malu dan tidak lagi melakukan klaim
budaya milik Indonesia.
“Perlu diingat
bahwa kebudayaan yang dimiliki Indonesia jumlahnya tidak sedikit. Tentu
masing-masing masyarakatnya perlu berpartisipasi. Tidak perlu memusuhi negara
tetangga kita, Malaysia. Justru dari hal inilah kita bercermin, sudah seberapa
jauhkan kita melakukan sesuatu yang membuat kita bangga dengan kebudayaan milik
negeri sendiri” kata salah seorang mahasiswi Hubungan Internasional
Universitas Pelita Harapan, Audyta Firina Jane.
“Karena kalau
bukan kita, siapa lagi?” ucap Audyta.
“Pesan
untuk generasi muda: kenali budayanya, cintai negerinya” lanjut Paulina
Dinartisti mengakhiri obrolan. (Eleonora Feberiani)
No comments:
Post a Comment